Pancasila Sebagai Sistem Filsafat oleh M. Mukhtasar Syamsuddin



PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Oleh: M. Mukhtasar Syamsuddin
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian sebagai hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the founding fathers) ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan dasar negara untuk di atasnya didirikan negara Republik Indonesia. Hasil perenungan itu secara resmi disahkan bersamaan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
Kelima dasar atau prinsip yang terdapat dalam sila-sila Pancasila tersebut merupakan satu kesatuan bagian-bagian sehingga  saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu sehingga dapat disebut sebagai sistem. Pengertian suatu sistem, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000: 66) dari Shrode dan Don Voich memiliki ciri-ciri sebagai berikut; 1) suatu kesatuan bagian-bagian; 2) bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri; 3)        saling berhubungan, saling ketergantungan; 4) kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem); dan 5) terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Berdasarkan pengertian tersebut, Pancasila yang berisi lima sila, yaitu Sila Ketuhanan yang Maha Esa, Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila Persatuan Indonesia, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, saling berhubungan membentuk satu kesatuan sistem, yang dalam proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun, setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, memiliki fungsi sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan tertentu yang sama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
  Pancasila sebagai sistem filsafat, mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan denganTuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai sistem filsafat, Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem-sistem filsafat lain yang ada di dunia, seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya.
Kekhasan nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya nilai filsafat Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa, maupun sebagai jiwa bangsa atau jatidiri  (Volksgeist) nasional itu memberikan identitas dan integritas serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya dan peradaban dunia.
Menurut Darmodihardjo (1979: 86), Pancasila adalah ideologi yang memiliki kekhasan, yaitu;
1)   kekhasan pertama, Tuhan Yang Maha Esa sebab Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa manusia Indonesia percaya adanya Tuhan;
2)   Kekhasan kedua, penghargaan kepada sesama umat manusia apapun suku bangsa dan bahasanya;
3)   kekhasan ketiga, bangsa Indonesia menjunjung tinggi persatuan bangsa;
4)   kekhasan keempat, kehidupan manusia Indonesia bermasyarakat dan bernegara berdasarkan atas sistem demokrasi; dan
5)   kekhasan kelima, keadilan sosial bagi hidup bersama.
Kelahiran ideologi bersumber dari pandangan hidup yang dianut oleh suatu masyarakat. Pandangan hidup kemudian berbentuk sebagai keyakinan terhadap nilai tertentu yang diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, ideologi berfungsi sebagai alat membangun solidaritas masyarakat dengan mengangkat berbagai perbedaan ke dalam tata nilai baru.
Sebagai ideologi, Pancasila berfungsi membentuk identitas bangsa dan negara Indonesia sehingga bangsa dan negara Indonesia memiliki ciri khas berbeda dari bangsa dan negara lain. Pembedaan ini dimungkinkan karena ideologi memiliki ciri selain sebagai pembeda juga sebagai pembatas dan pemisah dari ideologi lain.
A.  Pengertian Filsafat
Istilah ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani; filosofia(philosophia) terususun dari kata philos yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada dan kata sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, ketrampilan, pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan demikian philosophia secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan. Kata kebijaksanaan juga dikenal dalam bahasa Inggris; wisdom. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep yang bermanfaat bagi peradaban manusia.
Suatu pengetahuan bijaksana akan mengantarkan seseorang mencapai kebenaran. Orang yang mencintai pengetahuan bijaksana adalah orang yang mencintai kebenaran. Cinta kebenaran adalah karakteristik dari setiap filsuf dari dahulu sampai sekarang. Filsuf dalam mencari kebijaksanaan, mempergunakan cara dengan berpikir sedalam-dalamnya. Filsafat sebagai hasil berpikir sedalam-dalamnya diharapkan merupakan pengetahuan yang paling bijaksana atau setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan.
Adapun istilah ‘philosophos’ pertama kali digunakan oleh Pythagoras (572 -497 SM) untuk menunjukkan dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom), bukan kebijaksanaan itu sendiri. Selain Phytagoras, filsuf-filsuf lain juga memberikan pengertian filsafat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, filsafat mempunyai banyak arti, tergantung pada bagaimana filsuf-filsuf menggunakannya. Berikut disampaikan beberapa pengertian filsafat menurut beberapa filsuf, yaitu antara lain;
1)   Plato (427SM - 347SM); filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada atau ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli;
2)   Aristoteles (384 SM - 322SM); filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika atau filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda;
3)   Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM); filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya;
4)   Immanuel Kant (1724 - 1804); filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu; “apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika), apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika), sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)”.
Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang berusaha menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Berdasarkan pengertian umum ini, ciri-ciri filsafat dapat disebut sebagai usaha berpikir radikal, menyeluruh, dan integral, atau dapat dikatakan sebagai suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Sejak kemunculannya di Yunani, dan menyusul perkembangan pesat ilmu pengetahuan, kedudukan filsafat kemudian dikenal sebagai The Mother of Science (induk ilmu pengetahuan). Sebagai induk ilmu pengetahuan, filsafat merupakan muara bagi ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik, seperti ilmu komunikasi dan teknologi informasi yang baru saja muncul dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini. Demikian pulan, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lain, filsafat merupakan kegiatan intelektual yang metodis dan sistematis, namun lebih menekankan aspek reflektif dalam menangkap makna yang hakiki dari segala sesuatu.
Dalam Kamus Filsafat, Bagus (1996: 242) mengartikan filsafat sebagai sebuah pencarian. Beranjak dari arti harfiah filsafat sebagai cinta akan kebijaksanaan, menurut Bagus (1996: 242-243), arti itu menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus menerus harus mengejarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, filsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia.
Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang utama, yaitu sebagai berikut;
1)   Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu yang-ada dan yang mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika umum yang selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang membahas segala sesuatu yang-ada, dan metafisika khusus yang terbagi dalam teodesi yang membahas adanya Tuhan, kosmologi yang membahas adanya alam semesta, dan antropologi metafisik yang membahas adanya manusia.
2)   Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan. Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita untuk mengungkapkan kebenaran, apakah sesuatu yang kita percaya dapat diketahui, dan apa yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan yang dianggap benar.
3)   Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan estetika yang membahas nilai-nilai keindahan. Dalam etika, dipelajari dasar-dasar benar-salah dan baik-buruk dengan pertimbangan-pertimbangan moral secara fundamental dan praktis. Sedangkan dalam estetika, dipelajari kriteria-kriteria yang mengantarkan sesuatu dapat disebut indah.
4)   Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional. Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri struktur-struktur argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara optimal pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya. Bagi para filsuf, logika merupakan alat utama yang digunakan dalam meluruskan pertimbangan-pertimbangan rasional mereka untuk menemukan kebenaran dari problem-problem kefilsafatan.
B.  Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem (Abdul Gani, 1998).
Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia.
Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia, serta merupakan akulturasi budaya India (Hindu-Buddha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Filsafat Pancasila menurut Soeharto telah mengalami Indonesianisasi. Semua sila dalam Pancasila adalah asli diangkat dari budaya Indonesia dan selanjutnya dijabarkan menjadi lebih rinci ke dalam butir-butir Pancasila.
Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan bathin, baik di dunia maupun di akhirat(Salam, 1988: 23-24).
Sebagai filsafat, Pancasila memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis, seperti diuraikan di bawah ini.
1.  Dasar ontologis Pancasila
Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata hubungan, serta kedudukannya. Dengan kata lain, pengungkapan secara ontologis itu dapat memperjelas identitas dan entitas Pancasila secara filosofis.
Kaelan (2002: 69) menjelaskan dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (Kaelan, 2002:72).
Ciri-ciri dasar dalam setiap sila Pancasila mencerminkan sifat-sifat dasar manusia yang bersifat dwi-tunggal. Ada hubungan yang bersifat dependen  antara Pancasila dengan manusia Indonesia. Artinya, eksistensi, sifat dan kualitas Pancasila amat bergantung pada manusia Indonesia. Selain ditemukan adanya manusia Indonesia sebagai pendukung pokok Pancasila, secara ontologis, realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat dan dimiliki Pancasila dapat diungkap sehingga identitas dan entitas Pancasila itu menjkadi sangat jelas.
Soekarno menggunakan istilah Pancasila untuk memberi lima dasar negara yang diajukan. Dua orang sebelumnya Soepomo dan Muhammad Yamin meskipun menyampaikan konsep dasar negara masing-masing tetapi tidak sampai memberikan nama. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang didalamnya duduk Soekarno sebagai anggota, menggunakan istilah Pancasila yang diperkanankan Soekarno menjadi nama resmi Dasar Negara Indonesia yang isinya terdiri dari lima sila, tidak seperti yang diusulkan Soekarno melainkan seperti rumusan PPKI yang tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Berhubung dengan pengertian Pancasila merupakan kesatuan, menurut Notonagoro (1983: 32), maka lebih seyogyanya dan tepat untuk menulis istilah Pancasila tidak sebagai dua kata “Panca Sila”, akan tetapi sebagai satu kata “Pancasila”. Penulisan Pancasila bukan dua kata melainkan satu kata juga mencerminkan bahwa Pancasila adalah sebuah sistem bukan dua buah sistem.
Nama Pancasila yang menjadi identitas lima dasar negara Indonesia adalah bukan istilah yang diperkenalkan Soekarno tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang  BPUPKI, bukan Pancasila yang ada dalam kitab Sutasoma, bukan yang ada dalam Piagam Jakarta, melainkan yang ada dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Jika ditinjau menurut sejarah asal-usul pembentukkannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa)  yang menurut Notonagoro dapat digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yaitu sebab berupa materi (causa material),  sebab berupa bentuk (causa formalis),  sebab berupa tujuan (causa finalis),  dan sebab berupa asal mula karya (causa eficient) (Notonagoro,1983: 25). Lebih jauh Notonagoro menjelaskan keempat causaitu seperti berikut; pertama, bangsa Indonesia sebagai asal mula bahan (causa materialis)  terdapat dalam adaat kebiasaan, kebudayaan dan dalam agama-agamanya, kedua, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yaitu Bung Karno yang kemudian bersama-sama Bung Hatta menjadi Pembentuk Negara, sebagai asal mula bentuk atau bangun (causa formalis)  dan asal mula tujuan (causa finalis) dari Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara, ketiga, sejumlah sembilan orang, di antaranya kedua beliau tersebut ditambah dengan semua anggota  BPUPKI yang terdiri atas golongan-golongan kebangsaan dan agama, dengan menyususn rencana Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tempat terdapatnya Pancasila, dan juga Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menerima rencana tersebut dengan perubahan sebagai asal mula sambungan, baik dalam arti asal mula bentuk maupun dalam arti asal mula tujuan dari Pancasila sebagai Calon Dasar Filsafat Negara. Keempat, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai asal mula karya (causa eficient), yaitu yang menjadikan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara yang sebelumnya ditetapkan sebagai calon Dasar Filsafat Negara (Notonagoro, 1983: 25-26).
2.  Dasar epistemologis Pancasila
Epistemologi Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyerderhanaan terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan yang heterogen, multi kultur, dan multi etnik dengan cara menggali nilai-nilai yang memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat bangsa Indonesia (Salam, 1998: 29).
Masalah-masalah yang dihadapi yaitu menyangkut keinginan untuk mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman. Pancasila itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan dialami masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan hidup yang dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan dipraktekkan oleh manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila bersumber pada manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila dibangun dan berakar pada manusia Indonesia beserta seluruh suasana kebatinan yang dimiliki.
Kaelan (2002: 96) mengemukakan bahwa Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.
Dasar epistemologis Pancasila juga berkait erat dengan dasar ontologis Pancasila karena pengetahuan Pancasila berpijak pada hakikat manusia yang menjadi pendukung pokok Pancasila (Kaelan, 2002: 97). Secara lebih khusus, pengetahuan tentang Pancasila yang sila-sila di dalamnya merupakan abstraksi atas kesamaan nilai-nilai yang ada dan dimiliki oleh masyarakat yang pluralistik dan heterogen adalah epistemologi sosial.
Epistemologi sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri menjadi bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah terbentuknya Pancasila. Dalam penelusuran sejarah mengenai kebudayaan yang berkait dengan lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia telah diuraikan didepan yang secara garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut. Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia.
Nilai serta budaya masyarakat bangsa Indonesia yang dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad IV Masehi di samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat. Berdasartkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan bahwa secara epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya tradisional dan modern, budaya asli dan campuran.
Selain itu, sumber historis itu, menurut tinjauan epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal pikiran manusia serta kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada pengalaman. Dengan sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila mencerminkan adanya pemikiran masyarakat tradisional dan modern.
3.    Dasar aksiologis Pancasila
Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Dari aspek aksiologi, Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang, karena Pancasila bukan nilai yang ada dengaan sendirinya (given value) melainkan nilai yang diciptakan (created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar belakangnya.
Nilai berhubungan dengana kajian mengenai apa yang secara intrinsik, yaitu bernilai dalam dirinya sendiri dan ekstrinsik atau disebut instrumental, yaitu bernilai sejauh dikaitkan dengan cara mencapai tujuan. Pada aliran hedonisme yang menjadi nilai intrinsik adalah kesenangan, pada utilitarianisme adalah nilai manfaat bagi kebanyakan orang (Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973: 71).
Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad IV Masehi, masa imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan Soekarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan kawan-kawan pejuang kemerdekaan Indonesia lain yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.
Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena sifatnya yang universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia Indonesia, melainkan manusia seluruh dunia.
Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan cita-cita negara bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Sebagai nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara (mean) dalam mencapai tujuan, bahwa dalam mewujudkan cita-cita negara bangsa, Indonesia menggunakan cara-cara yang berketuhanan, berketuhanan yang adil dan beradab, berpersatuan, berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga mencerminkan nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila berisi nilai-nilai idealitas yaitu nilai yang diingini untuk dicapai.
Menurut Kaelan (2002: 128), nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan dalam kehidupannya. Namun, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya diangkap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2002: 129) Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen. Pancasila merupakan harapan, cita-cita, tapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda. Meskipun demikian, nilai-nilai itu tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia itu akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kaelan, 2002: 129).
Notonagoro (1983: 39) menyatakan bahwa isi arti dari Pancasila yang abstrak itu hanya terdapat atau lebih tepat dimaksudkan hanya terdapat dalam pikiran atau angan-angan, justru karena Pancasila itu merupakan cita-cita bangsa, yang menjadi dasar falsafah atau dasar kerokhanian negara. Tidak berarti hanya tinggal di dalam pikiran atau angan-angan saja, tetapi ada hubungannya dengan hal-hal yang sungguh-sungguh ada. Adanya Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil adalah tidak bisa dibantah.
C. Hakikat sila-sila Pancasila
Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan oleh Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu mengandung kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau membentuknya. Misalnya hakikat air terdiri atas dua unsur mutlak yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan kata lain, kedua unsur tersebut secara bersama-sama menyusun air sehingga terpisah dari benda yang lainnya misalnya dengan batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata ‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori, yaitu;
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu berupa per dan an (sila III). Kedua macam awalan dan akhiran itu mempunyai kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membikin abstrak atau mujarad, tidak maujud atau lebih tidak maujud arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada pada bangsa Indonesia. Hakikat pribadi inilah yang realisasinya sering disebut sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat, keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat kongkrit itu, pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan negara setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman (Notonagoro, 1975: 58-61).
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut;
1.    Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal
Susunan secara hirarkhis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila Pancasila menurut urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada dimukanya.
Dalam susunan heararkhis dan piramidal, sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.
Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manussia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau  keadilan sosial (sila kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.
2.    Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hierarkhis piramidal seperti di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan  hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hierarkhis piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi.
a)    Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
b)   Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c)    Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadila sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d)   Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
e)    Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975:  43-44).






















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani, Ruslan, 1998, Pancasila dan reformasi, Makalah Seminar Nasional KAGAMA, 8 Juli 1998 di Yogyakarta
Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma Offset
-----------------, 2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Paradigma Offset
Notonagoro,1967, Beberapa hal mengenai Falsafah Pancasila; Pengertian Inti-Isi Mutlak daripada Pancasila Dasar Falsafah Negara, Pokok Pangkal Pelaksanaan Secara Murni dan Konsekuen, Cetakan Kedua, Jakarta: Pancuran Tudjuh
----------------, 1983, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan Kelima, Jakarta: Bina Aksara
Salam, H. Burhanuddin, 1998, Filsafat Pancasilaisme, Jakarta: Rineka Cipta
Smart, J.J.C., and Bernard Williams, 1973, Utilitarianism; For and Against, United Kingdom, Cambridge University Press

Posting Komentar

0 Komentar